
PROF. SAPARDI DJOKO DAMONO,
GURU BESAR YANG JUGA PENYAIR
Anak-anak balita itu sudah memiliki kemampuan mengekspresikan kesenian, apakah di saat bermain-main sambil menari ala kadarnya, nyanyi dengan menjerit-jerit, melukis bercorat-coret atau menulis sesederhana mungkin. Biarkanlah mereka bebas. Tidak usah diberi atau dijejali bermacam-macam teori. Dengan bertambahnya ilmu yang didapat sesuai tingkat pendidikan di sekolah makin banyak isi di dalam diri. "Muatan" kesenian yang semula dominant, "tertindih" atau "terdesak" pasokan-pasokan baru. Daya berkeseniannya berkurang, bisa-bisa hilang, tidak segencar waktu sebelumnya. Beda kalau sejak kecil dibina terus berkesenian. Mereka seperti terasah dan
menjadi sukses sampai akhir hayatnya. Begitu ungkapan Prof. DR Sapardi Djoko Damono, Guru Besar UI bidang ilmu budaya/sastra yang juga penyair besar di tanahair kita ini, ketika saya kunjungi di pagi-pagi yang cerah hari Minggu tanggal 22 Maret 2009 di rumahnya di Ciputat. Kediamannya di komplek perumahan dosen tersebut tidak lebih dari 15 meter jaraknya dengan danau yang melingkar di belakang.
"Bagaimana rasanya tinggal di sekitar sini," tanya saya, "apakah sering menimbulkan fantasi-fantasi misalnya seperti ada monster yang muncul dari dalam danau atau aneka lainnya sehingga menjadi inspirasi karya syair atau tulisan?"
"Tidak juga," jawabnya sambil senyum. "Saya sudah puluhan tahun tinggal di sini. Jadi biasa-biasa saja."
Prof. Sapardi yang lahir di Surakarta 20 Maret 1940 itu seperti ingin menyendiri di komplek itu. Dia tidak mau pasang televisi, tidak berlangganan koran, tidak pula mau bermobil. Kendaraan itu telah dijualnya. Dengan begitu dia bebas pergi-pergi. Tidak tergantung sopir. Tidak terikat berita koran dan siaran media elektronik. Sering dia jengkel jika menonton tv atau baca koran. Cukup menghidupkan komputer saja. Dari internet bisa mendapatkan banyak informasi, koran, majalah, termasuk buku-buku baru dari seluruh dunia. Tinggal mengunduh, kalau sempat dibaca sekilas lalu dimasukkan ke file pribadi.
"Bagaimana tanggapan Pak Sapardi terhadap keadaan sekarang menghadapi pemilu? Bisa dimanfaatkan untuk bahan syair atau lainnya?"
"Sekarang benar-benar fenomena yang awut-awutan dan aneh," jawabnya. "Orang-orang yang belum pernah muncul menampang dalam bentuk gambar-gambar besar. Ditempelkan di pojok-pojok jalanan dan pada salah satu lokasi lalu diberi kumis tambahan oleh orang-orang usil."
"Ya, begitulah," saya menukas. "Pernah baliho besar yang dipasang di menara tinggi tiba-tiba roboh menimpa orang. Kan mencelakakan?"
Pak Sapardi menambahkan pula dengan cerita lain. Tentang pengusaha percetakan. Dalam rangka kampanye yang sifatnya perorangan itu, si tukang cetak dengan tiba-tiba saja mendapat order bikin gambar, slogan dan cetakan-cetakan lainnya yang serba banyak. Walau beaya begitu besar, sampai juta-jutaan, pemesannya tenang-tenang saja mengeluarkan duit. Sangat fantastis namun lumayanlah buat tukang-tukang cetak, tukang sablon dan pembikin-pembikin poster.
"Dari partaikah dana bikin publikasi demikian?"
"Bukan. Ya dari individu-individu itu sendiri yang berstatus caleg. Pengeluaran yang sungguh-sungguh amat besar. Padahal belum tentu nanti terpilih. Orang-orang yang memilih pun pada umumnya juga belum kenal."
"Tergerakkah Pak Sapardi barangkali untuk menuliskan fenomena sekarang ke dalam syair atau lainnya?"
Sekarang belum. Dulu saat ada peristiwa besar tahun 1998 yang amat mengguncang itu menggugah saya untuk merekamnya dalam karya. Begitu juga dengan peristiwa lainnya yang tak bisa dilupakan begitu saja."
"Pak Sapardi, kita sama-sama sudah tua. Saya punya beberapa kawan sebaya yang sudah lebih dulu meninggal. Saya merasa kehilangan. Tinggal sedikit kawan tua saya. Yang sekarang saya miliki banyak yang muda-muda. Di akhir solat, selain leluhur saya yang saya doakan, tidak lupa kawan-kawan yang almarhum itu saya doakan juga. Bagaimana dengan Pak Sapardi sendiri?"
"Terhadap almarhum kawan-kawan saya itu saya anggap masih hidup saja. Saya merasakan keberadaan mereka itu di sekitar saya. Bagaimana juga setelah mereka tidak ada kemudian saya mencoba bergaul dengan yang jauh lebih muda, betapa tidak seimbangnya berkomunikasi. Tidak ada sama sekali kesamaan rasa dan selera."
"Tidak 'tune' ya?"
"Begitulah."
"Saya masih ingat peristiwa-peristiwa di masakanak. Saya ingat wajah kawan-kawan, lalu tingkah dan ketawa-ketawa mereka. Bagaimana pada Pak Sapardi?"
"Sama juga. Saya tidak melupakan mereka waktu masih kecil. Semua meluncur kembali di depan mata saya. Seperti filem yang diputar. Nyata sekali terbayang. Kampung saya di Solo, orang-orangnya, dusun-dusunnya. Mungkin begitulah kekuatan memori yang dimiliki penulis pada umumnya. Jika ditulis akan lancar sekali. Tinggal menggerakkan tangan saja sampai selesai."
"Bagaimana pendapat Pak Sapardi dengan puisi yang dibuat seperti prosa sekarang ini?"
"Itu sah-sah saja," jawabnya. "Sebenarnya siapa yang dulu menamakan puisi atau prosa, bukankah itu istilah dari Barat sana? Kita punya sekar atau tembang yang dinyanyikan. Adanya cerita pendek atau novel, semua itu peristilahan Barat. Makanya kita bebas saja mencipta.”
“Baca terus karya orang itu kadang-kadang menjengkelkan juga. Lalu kapan saya menulis sendiri? Makanya saya tinggalkan membaca dan bikin sendiri. Berarti menjadi ciptaan sendiri. Hanya kalau suatu saat saja perlu tambahan isi maka saya membaca lagi karya orang secara sekilas sebagai referensi. Bagaimana pada Pak Sapardi?”
“Ya sama juga,” jawabnya.
apa! Ya saya lihat daftar isinya. Kalau ada yang masalah baru yang menarik saya baca sekilas. Dari internet saya baca juga sekilas. Untuk koleksi lalu saya unduh dan saya masukkan ke file. Jika baca sekian tebalnya, edan apa?”
Saya ceritakan pengalaman saya menghadiri ceramah dari pakar Belanda di Erasmus tentang “Art under pressure”. Tidak lain soal tentang nasib karya-karya seni masakini di dunia. Di Indonesia menimbulkan pembajakan-pembajakan dari penerbit liar. Yang untung penerbit juga, pengarang aslinya menelan ludah. Bagaimana ini?
Prof. Sapardi lalu melontarkan rasa gundahnya. Pengarang hanya menerima royalty 10% saja. Dia baru-baru ini mendapat pemberitahuan bahwa bukunya akan dicetak kembali oleh salah satu penerbit yang terkenal di negeri ini. Mengagetkan. Sepuluh tahun lebih dia tidak mendapat kabar apa-apa. Kok tahu-tahu mau dicetak lagi? Lalu yang dulu dikemanakan hasilnya? Tidak ada royalty sama sekali kok sekarang diberitahu akan cetak ulang? Maka dia lalu menolak dan hak cipta karyanya diambil kembali oleh Prof. Sapardi.
Sekarang ini pengarang-pengarang muda banyak. Adanya ciklit dan lain-lainnya yang ditulis anak-anak muda. Bagus juga itu. Tidak usah diolok-olok. Beri kesempatan mereka berkembang. Patokannya sebagai penulis harus baca. Banyak-banyaklah baca karena tanpa itu mana bisa memperoleh bekal menulis. Beberapa penulis barangkali usianya sudah lanjut lantas berhenti berkarya.
Atau dia masih terus berkarya namun dengan langgam yang itu-itu saja. Berarti sudah habislah di situ. Saya pernah sarankan agar membaca karya orang lain yang lebih bagus. Namun tetap pada gayanya yang tidak konsisten. Pada hakekatnya penulis itu pencipta bahasa. Dialah yang berkuasa di dalam menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran-pikiran. Asal harus konsisten dengan bahasa yang baik."
"Bolehkah pengarang menggunakan bahasa sehari-hari, biasanya ditekankan pada dialog dan pada narasi dengan bahasa yang standar, yang 'baik' atau yang benar?"
"Boleh-boleh saja kok. Bahasa harus yang terasah sesuai peningkatan pengalaman dan intelektualitasnya. Sebenarnya apakah pada narasi atau dialog, sah-sah saja menggunakan bahasa. Seperti almarhum Firman Muntaco dulu, baik dalam narasi atau dialog konsisten dengan bahasa sehari-hari yang kocak dan lucu. Itu kehebatan Firman Muntaco.”
"Bagaimana para penyair muda, ada yang menonjol?"
“Ada juga, bahkan menunjukkan harapan besar karena keseriusan mereka. Penulis sepuh yang tetap gigih misalnya Pak Soeparto Brata dari Surabaya. Beliau boleh dicontoh, padahal kawan-kawan seangkatannya sudah pada 'selesai' berkarya."
"Lalu kritikus, punya catatan khusus?"
"Berbicara masalah kritikus sastra sekarang, payah. Koran-koran membatasi tulisan. Jika panjang sedikit pasti tidak bisa dimuat. Bikin kritik mini sesuai daya tampung kolom koran yang makin sempit? Repotlah sekarang untuk bidang kritik sastra."
Pada dinding ruang tamu rumah tertancap lukisan karya Sri Warso Wahono yang sesama wong Solo dan satu ikon bertempel potretnya pada dinding ruangmakan, dibuat oleh almarhum Motinggo Boesje. Setelah melihat gambar yang tertera pada lontar yang dulunya dibeli di Blitar, Prof. Sapardi menjelaskan bahwa gambar di lontar tersebut unik. Tampak pembesar-pembesar zaman itu, sedadu-serdadu Kompeni, ditambah lagi gambar tokoh-tokoh legenda yang menjadikan rangkaian ceritanya absurd. Jadi sejak dahulu seniman-senimannya sudah tidak asing dengan gaya absurd.
Sajak-sajaknya yang terkenal membersit di kepala saya dan berturut-turut saya ingat “Aku Ingin”, “Hujan Bulan Juni” (tertempel khusus di dalam kaca dan menggantung di dinding, “Pada suatu hari nanti”, “Akulah si Telaga” (apakah telaga yang di belakang rumahnya itu?-- pikir saya), “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”, “Duka-Mu Abadi”, “Mata Pisau”, “Perahu Kertas”, “Sihir Hujan”, “Arloji”, “Ayat-ayat Api”, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?” dan lain-lainnya yang seabreg sampai tersiar juga di YouTube.
Saya pamit pulang setelah banyak dan puas mendengar uraian Prof. Sapardi tentang penciptaan sastra dan dirinya sehari-hari yang terus sibuk. Sebagai Guru Besar dia mengabdi terus dan tidak pensiun-pensiun menjadi “lelaki panggilan” ke unversitas-universitas yang memohon kuliah-kuliahnya. Sampai di rumah saya membuka koran mingguan dan pada lembar budaya saya jumpai sajak-sajak terbaru karya beliau. Wah, wah, hebat sekali pengamatannya terhadap pemulung pencari gelas-gelas plastik dan kaleng-kaleng bekas di tempat sampah.
menjadi sukses sampai akhir hayatnya. Begitu ungkapan Prof. DR Sapardi Djoko Damono, Guru Besar UI bidang ilmu budaya/sastra yang juga penyair besar di tanahair kita ini, ketika saya kunjungi di pagi-pagi yang cerah hari Minggu tanggal 22 Maret 2009 di rumahnya di Ciputat. Kediamannya di komplek perumahan dosen tersebut tidak lebih dari 15 meter jaraknya dengan danau yang melingkar di belakang.
"Bagaimana rasanya tinggal di sekitar sini," tanya saya, "apakah sering menimbulkan fantasi-fantasi misalnya seperti ada monster yang muncul dari dalam danau atau aneka lainnya sehingga menjadi inspirasi karya syair atau tulisan?"
"Tidak juga," jawabnya sambil senyum. "Saya sudah puluhan tahun tinggal di sini. Jadi biasa-biasa saja."
Prof. Sapardi yang lahir di Surakarta 20 Maret 1940 itu seperti ingin menyendiri di komplek itu. Dia tidak mau pasang televisi, tidak berlangganan koran, tidak pula mau bermobil. Kendaraan itu telah dijualnya. Dengan begitu dia bebas pergi-pergi. Tidak tergantung sopir. Tidak terikat berita koran dan siaran media elektronik. Sering dia jengkel jika menonton tv atau baca koran. Cukup menghidupkan komputer saja. Dari internet bisa mendapatkan banyak informasi, koran, majalah, termasuk buku-buku baru dari seluruh dunia. Tinggal mengunduh, kalau sempat dibaca sekilas lalu dimasukkan ke file pribadi.
"Bagaimana tanggapan Pak Sapardi terhadap keadaan sekarang menghadapi pemilu? Bisa dimanfaatkan untuk bahan syair atau lainnya?"
"Sekarang benar-benar fenomena yang awut-awutan dan aneh," jawabnya. "Orang-orang yang belum pernah muncul menampang dalam bentuk gambar-gambar besar. Ditempelkan di pojok-pojok jalanan dan pada salah satu lokasi lalu diberi kumis tambahan oleh orang-orang usil."
"Ya, begitulah," saya menukas. "Pernah baliho besar yang dipasang di menara tinggi tiba-tiba roboh menimpa orang. Kan mencelakakan?"
Pak Sapardi menambahkan pula dengan cerita lain. Tentang pengusaha percetakan. Dalam rangka kampanye yang sifatnya perorangan itu, si tukang cetak dengan tiba-tiba saja mendapat order bikin gambar, slogan dan cetakan-cetakan lainnya yang serba banyak. Walau beaya begitu besar, sampai juta-jutaan, pemesannya tenang-tenang saja mengeluarkan duit. Sangat fantastis namun lumayanlah buat tukang-tukang cetak, tukang sablon dan pembikin-pembikin poster.
"Dari partaikah dana bikin publikasi demikian?"
"Bukan. Ya dari individu-individu itu sendiri yang berstatus caleg. Pengeluaran yang sungguh-sungguh amat besar. Padahal belum tentu nanti terpilih. Orang-orang yang memilih pun pada umumnya juga belum kenal."
"Tergerakkah Pak Sapardi barangkali untuk menuliskan fenomena sekarang ke dalam syair atau lainnya?"
Sekarang belum. Dulu saat ada peristiwa besar tahun 1998 yang amat mengguncang itu menggugah saya untuk merekamnya dalam karya. Begitu juga dengan peristiwa lainnya yang tak bisa dilupakan begitu saja."
"Pak Sapardi, kita sama-sama sudah tua. Saya punya beberapa kawan sebaya yang sudah lebih dulu meninggal. Saya merasa kehilangan. Tinggal sedikit kawan tua saya. Yang sekarang saya miliki banyak yang muda-muda. Di akhir solat, selain leluhur saya yang saya doakan, tidak lupa kawan-kawan yang almarhum itu saya doakan juga. Bagaimana dengan Pak Sapardi sendiri?"
"Terhadap almarhum kawan-kawan saya itu saya anggap masih hidup saja. Saya merasakan keberadaan mereka itu di sekitar saya. Bagaimana juga setelah mereka tidak ada kemudian saya mencoba bergaul dengan yang jauh lebih muda, betapa tidak seimbangnya berkomunikasi. Tidak ada sama sekali kesamaan rasa dan selera."
"Tidak 'tune' ya?"
"Begitulah."
"Saya masih ingat peristiwa-peristiwa di masakanak. Saya ingat wajah kawan-kawan, lalu tingkah dan ketawa-ketawa mereka. Bagaimana pada Pak Sapardi?"
"Sama juga. Saya tidak melupakan mereka waktu masih kecil. Semua meluncur kembali di depan mata saya. Seperti filem yang diputar. Nyata sekali terbayang. Kampung saya di Solo, orang-orangnya, dusun-dusunnya. Mungkin begitulah kekuatan memori yang dimiliki penulis pada umumnya. Jika ditulis akan lancar sekali. Tinggal menggerakkan tangan saja sampai selesai."
"Bagaimana pendapat Pak Sapardi dengan puisi yang dibuat seperti prosa sekarang ini?"
"Itu sah-sah saja," jawabnya. "Sebenarnya siapa yang dulu menamakan puisi atau prosa, bukankah itu istilah dari Barat sana? Kita punya sekar atau tembang yang dinyanyikan. Adanya cerita pendek atau novel, semua itu peristilahan Barat. Makanya kita bebas saja mencipta.”
“Baca terus karya orang itu kadang-kadang menjengkelkan juga. Lalu kapan saya menulis sendiri? Makanya saya tinggalkan membaca dan bikin sendiri. Berarti menjadi ciptaan sendiri. Hanya kalau suatu saat saja perlu tambahan isi maka saya membaca lagi karya orang secara sekilas sebagai referensi. Bagaimana pada Pak Sapardi?”
“Ya sama juga,” jawabnya.
apa! Ya saya lihat daftar isinya. Kalau ada yang masalah baru yang menarik saya baca sekilas. Dari internet saya baca juga sekilas. Untuk koleksi lalu saya unduh dan saya masukkan ke file. Jika baca sekian tebalnya, edan apa?”
Saya ceritakan pengalaman saya menghadiri ceramah dari pakar Belanda di Erasmus tentang “Art under pressure”. Tidak lain soal tentang nasib karya-karya seni masakini di dunia. Di Indonesia menimbulkan pembajakan-pembajakan dari penerbit liar. Yang untung penerbit juga, pengarang aslinya menelan ludah. Bagaimana ini?
Prof. Sapardi lalu melontarkan rasa gundahnya. Pengarang hanya menerima royalty 10% saja. Dia baru-baru ini mendapat pemberitahuan bahwa bukunya akan dicetak kembali oleh salah satu penerbit yang terkenal di negeri ini. Mengagetkan. Sepuluh tahun lebih dia tidak mendapat kabar apa-apa. Kok tahu-tahu mau dicetak lagi? Lalu yang dulu dikemanakan hasilnya? Tidak ada royalty sama sekali kok sekarang diberitahu akan cetak ulang? Maka dia lalu menolak dan hak cipta karyanya diambil kembali oleh Prof. Sapardi.
Sekarang ini pengarang-pengarang muda banyak. Adanya ciklit dan lain-lainnya yang ditulis anak-anak muda. Bagus juga itu. Tidak usah diolok-olok. Beri kesempatan mereka berkembang. Patokannya sebagai penulis harus baca. Banyak-banyaklah baca karena tanpa itu mana bisa memperoleh bekal menulis. Beberapa penulis barangkali usianya sudah lanjut lantas berhenti berkarya.
Atau dia masih terus berkarya namun dengan langgam yang itu-itu saja. Berarti sudah habislah di situ. Saya pernah sarankan agar membaca karya orang lain yang lebih bagus. Namun tetap pada gayanya yang tidak konsisten. Pada hakekatnya penulis itu pencipta bahasa. Dialah yang berkuasa di dalam menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran-pikiran. Asal harus konsisten dengan bahasa yang baik."
"Bolehkah pengarang menggunakan bahasa sehari-hari, biasanya ditekankan pada dialog dan pada narasi dengan bahasa yang standar, yang 'baik' atau yang benar?"
"Boleh-boleh saja kok. Bahasa harus yang terasah sesuai peningkatan pengalaman dan intelektualitasnya. Sebenarnya apakah pada narasi atau dialog, sah-sah saja menggunakan bahasa. Seperti almarhum Firman Muntaco dulu, baik dalam narasi atau dialog konsisten dengan bahasa sehari-hari yang kocak dan lucu. Itu kehebatan Firman Muntaco.”
"Bagaimana para penyair muda, ada yang menonjol?"
“Ada juga, bahkan menunjukkan harapan besar karena keseriusan mereka. Penulis sepuh yang tetap gigih misalnya Pak Soeparto Brata dari Surabaya. Beliau boleh dicontoh, padahal kawan-kawan seangkatannya sudah pada 'selesai' berkarya."
"Lalu kritikus, punya catatan khusus?"
"Berbicara masalah kritikus sastra sekarang, payah. Koran-koran membatasi tulisan. Jika panjang sedikit pasti tidak bisa dimuat. Bikin kritik mini sesuai daya tampung kolom koran yang makin sempit? Repotlah sekarang untuk bidang kritik sastra."
Pada dinding ruang tamu rumah tertancap lukisan karya Sri Warso Wahono yang sesama wong Solo dan satu ikon bertempel potretnya pada dinding ruangmakan, dibuat oleh almarhum Motinggo Boesje. Setelah melihat gambar yang tertera pada lontar yang dulunya dibeli di Blitar, Prof. Sapardi menjelaskan bahwa gambar di lontar tersebut unik. Tampak pembesar-pembesar zaman itu, sedadu-serdadu Kompeni, ditambah lagi gambar tokoh-tokoh legenda yang menjadikan rangkaian ceritanya absurd. Jadi sejak dahulu seniman-senimannya sudah tidak asing dengan gaya absurd.
Sajak-sajaknya yang terkenal membersit di kepala saya dan berturut-turut saya ingat “Aku Ingin”, “Hujan Bulan Juni” (tertempel khusus di dalam kaca dan menggantung di dinding, “Pada suatu hari nanti”, “Akulah si Telaga” (apakah telaga yang di belakang rumahnya itu?-- pikir saya), “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”, “Duka-Mu Abadi”, “Mata Pisau”, “Perahu Kertas”, “Sihir Hujan”, “Arloji”, “Ayat-ayat Api”, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?” dan lain-lainnya yang seabreg sampai tersiar juga di YouTube.
Saya pamit pulang setelah banyak dan puas mendengar uraian Prof. Sapardi tentang penciptaan sastra dan dirinya sehari-hari yang terus sibuk. Sebagai Guru Besar dia mengabdi terus dan tidak pensiun-pensiun menjadi “lelaki panggilan” ke unversitas-universitas yang memohon kuliah-kuliahnya. Sampai di rumah saya membuka koran mingguan dan pada lembar budaya saya jumpai sajak-sajak terbaru karya beliau. Wah, wah, hebat sekali pengamatannya terhadap pemulung pencari gelas-gelas plastik dan kaleng-kaleng bekas di tempat sampah.
Jakarta 22 Maret 2009
RAHMAT ALI
RAHMAT ALI
