/ rahmat ali
SATU
Dia ustad awet muda. Padahal usianya sudah mencapai 64 tahun. Punya perawakan atletis tegap, kulit sawomatang, rambut belum ubanan, gaulnya sumeh. Sukanya naik skuter, berpakaian lengkap sebagaimana umumnya da'i. Jika khotbahjum'at, gaya mengucapkan lafal-lafalnya, apakah itu hadis atau ayat-ayat surat al-Qur'an, fasih dan jelas, menunjukkan pengetahuan sorof/nahwunya di dalam lugotul-arobiyyah menguasai sekali. Itulah sosok Djuhana, ustad di Ragunan yang telah meniti karirnya benar-benar dari bawah.
Belajar ngajinya di rumah guru kampung sendiri, Haji Ihun, Rt 05 yang kini ada peninggalannya, Mesjid Solihun. Dilanjutkan guru lain di Rw kampung sebelah lagi, Haji Mohammad Gombak. Dari Ragunan juga, guru berikutnya
Haji Mualim Ma’ruf. Guru yang dari Jatipadang adalah Kyai Haji Ahmad Ali, sesepuh setempat. Yang terakhir sampai hafal al-Qur'an dari ustad Raden Mohammad Amin di pesantren Kalibata, kini telah lama almarhum dan lokasi kediamannya ditengarai dengan bercokolnya mesjid Mohammad Amin. Di pesanten ini Djuhana menempuh pelajarannya enam tahun.
Setelah setahun menikah, ustad Djuhana bekerja sebagai pegawai sipil di batalyon KKO yang tangsinya di kesatrian Kwini.
Tiga tahun kemudian pindah di kesatrian KKO Cilandak. Tugasnya di bagian Binroh antara lain membimbing warga prajurit yang mau menikah dengan mengajari membaca syahadat dan sekaligus solat serta pengetahuan keIslaman lainnya. Karena waktu itu tidak sedikit yang mengaku beragama Islam namun belum pernah mempraktekkan apa itu selayaknya seorang muslim dan apa yang wajib dilakukan sehari-hari sebagai seseorang yang berpredikat muslim maka Djuhana membina mereka. Kalau sudah dinyatakan lulus bimbingan, memenuhi syaratlah si prajurit sebagai calon suami dan komandan pun segera menandatangani untuk boleh menikah secara Islam.

Tambahan ilmu keagamaan yang sangat mengesankan bagi ustad Djuhana dimulai saat datangnya Engkong Syah Iran di Ragunan, begitu lanjutan ceritanya. Dia seorang laki-laki yang sudah "mengabdi" sebagai insinyur sipil yang mengarsiteki bangunan-bangunan di Kwini, meliputi bangunan Rumahsakit Gatot Subroto dan rumah-rumah sekitarnya termasuk menginstalasi pipa air untuk kesatrian KKO (sekarang Marinir) di Kwini.
Kalau mengontrol proyeknya Engkong Syah Iran masih tetap mengendarai sepedamotor BSA-nya zaman itu. Tentunya dia seorang insinyur yang berpengaruh dan cukup potensial. Dia pernah mengembara ke tujuh gunung di Aceh untuk memperdalam pengetahuannya di bidang agama. Dedikasi berikutnya setelah puas sebagai arsitek dan pemborong bangunan, Engkong Syah Iran dan istrinya yang sudah sama-sama tua turba, "melebur" bersama warga kampung di Ragunan yang waktu itu masih rimbun, belum banyak rumah, di sana-sini pohon-pohon buah serta empang-empang tempat memelihara ikan. Di salah satu pondok bambu yang kosong milik Haji Nean itulah Engkong Syah Iran tinggal bersama bininya. Dia saat melihat Djuhana muda yang tahun-tahun awal enampuluhan itu belum jadi ustad seketika menaruh perhatian. Dia lalu membacakan beberapa ayat surat al-Qur'an dan minta tolong kepada Djuhana untuk membuat terjemahannya dan ternyata dilaksanakan cepat. Engkong Syah Iran setelah membacanya mengatakan betul. Dia minta ayat berikutnya diterjemahkan dan bilang lagi kepada penterjemahnya: Betul!
Yang menterjemah heran. Pikir Djuhana waktu itu, orang ini bukan bertanya padaku. Pasti dia menguji nih. Sejak itu akrablah Engkong Syah Iran dengan Djuhana. Sebenarnya waktu itu ada pula santri-santri lainnya di kampung, malah ada yang mengaku ustad sejak lama, namun Engkong Syah Iran merasa lebih "sreg" kepada Djuhana pilihannya. Dia sejak itu secara tidak langsung dibimbing sedikit demi sedikit oleh mantan arsitek tersebut.
Ternyata Syah Engkong Iran itu, usianya sekitar 80 tahunan, mungkin berkat pengembaraan dan pengalamannya yang luas, pandai sekali di dalam mengajarkan bagaimana hidup sebagai hamba Allah dengan berpedoman kepada ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadis. Dia tidak canggung-canggung memberi pertolongan kepada orang-orang yang kesulitan atau menderita. Advis-advisnya “mengena”. Kepada Djuhana orang itu menjelaskan bahwa ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut sangat bermakna dalam. Kalau sudah mafhum benar sangatlah mujarab dipergunakan untuk hampir apa saja. Orang bisa sakit, bisa celaka, bisa bangkrut, bisa juga sembuh dan lain-lainnya. Engkong Syah Iran jelas menjalankan amalnya yang sangat positip untuk masyarakat. Karenanya, walau tinggal di pondok amat sederhana (seperti menjauhi kemewahan dunia), toh tiap harinya banyak saja tamu yang minta advis dan pertolongan. Anehnya tidak mau terima apa-apa sebelum nyata-nyata berhasil dalam ikhtiar. Kalau akhirnya benar-benar berhasil, barulah mau menerima. Suka hati yang beri. Yang wujud uang, barang atau makanan. Segala yang Engkong Syah Iran telah terima diberikan lagi ke mereka yang butuh. Habislah stok, namun besoknya datang lagi pemberian. Cepat lagi dibagikan.
Tiap pagi Engkong Syah Iran sering tampak berjalan berduaan istrinya ke rumah Haji Nean yang menyewakan pondok dekat empang. Pasangan insan tersebut berpakaian bersih walau sederhana. Sungguh tidak kentara kalau dulunya seorang warga kota Purworejo, Bagelen yang insinyur sipil, arsitek dan pemborong bangunan. Dia tenang saja di dalam kampung yang kalau hujan lebat jadi banjir, penuh luapan air di sekitar pondok, licin banyak Lumpur. Waktu itu listrik belum masuk kampung. Setelah istrinya meninggal dia menikah lagi dengan seorang perempuan lebih muda sebagai pendamping sebab tiap hari selalu sibuk melayani tamu-tamu yang datang dari mana-mana. Tidak lama kemudian dia meninggal dan dimakamkan tidak jauh dari pondokannya. Jalanan kecil yang menuju ke bekas tempat huniannya bernama “Gang Syah Iran” sampai sekarang.
DUA
Kembali ke kilasbalik saat Engkong Syah Iran masih hidup. Dari fakta-fakta waktu itulah Djuhana yang tinggal tidak jauh dari pondoknya, secara tidak langsung makin "dalam" dibimbing. Engkong Syah Iran memang mengarahkan Djuhana untuk sedikit demi sedikit meningkat. Entah lantaran apa pada suatu malam tiba-tiba saja Djuhana dan istrinya mencium bau yang sangat lengur busuk tidak karu-karuan memuakkan serta bikin muntah. Dia tidak tahan untuk tetap tidur. Keesokan harinya dia bertanya ke Engkong Syah Iran apakah itu. Bertahan sajalah, jawabnya. Djuhana sesuai nasehatnya tetap bertahan. Itu salah satu godaan kalian, kata Engkong Syah Iran menjelaskan. Malam berikutnya yang dialami Djuhana dan istrinya kebalikan dari yang awal, dari yang semula bau amat busuk menjadi wujud aroma wangi. Karena Engkong Syah Iran berpesan untuk tidak bereaksi apa pun maka Djuhana pun tidak berbuat apa-apa.
TIGA
Sebenarnya Djuhana bukan semata menerima filosofi hidup dari Entong Syah Iran saja. Dia juga autodidak. Djuhana anak tukang sayur yang sederhana, Pak Ikin. Almarhum bapaknya tiap hari memikul sayuran untuk dijual keliling kampung. Namun Djuhana tekun belajar. Waktu belajar mengaji dia serius sekali. Guru-gurunya mengaji banyak memuji. Dia ini mempunyai otak yang tajam dalam mengingat-ingat. Sekali ayat suci atau hadis dibacakan guru, seketika dia ingat. Juga pelajaran lain. Demikianlah salah satu keistimewaan yang ada pada dirinya. Setelah berhaji ke Mekkah beberapa tahun yang lalu lengkaplah predikat Djuhana, ustad dan haji sekaligus.
Saat-saat menunaikan ibadah haji dia sangat terkesan, terlebih saat di padang Arafah yang merupakan pertemuan seumur hidup bersama umat dari seluruh dunia dengan berikhrom. Peristiwa tersebut merupakan fitroh kesamaan mahluk manusia sebagai hamba Allah. Orang-orang yang bertaqwa itulah yang dimuliakan Allah (Inna akromakum indallahi adkokum). Di situ pula terwujud ciptaan Allah yang terdiri dari kaum lelaki dan kaum perempuan berbagai suku dan bangsa bersujud ke hadapan Sang Maha Pencipta. Sudah kehendak Allah Djuhana setelah menjadi haji makin dikenal luas melebihi batas kampung Ragunan. Kolega-koleganya yang lebih senior atau sederajat yang dia miliki sekarang makin bertambah pula. Antara lain dari mereka itu adalah KH Rhoma Irama, KH DR Zainuddin MZ, KH DR Manarul Hidayah, KH Mursidi, KH Abubakar Madris dan lain-lain. Pada foto yang terpampang di tulisan ini adalah saat dia bersama KH Rhoma Irama, yang selain pandai berdakwah juga sangat tersohor sebagai rajadangdut Indonesia.
Saat jadi pengkhotbah solat Jum'at, Idul Fitri, Idul Adha atau ceramah di tempat lain sesuai undangan, dia, ustad Djuhana bukan saja tangkas fasih tanpa teks, pun bahasa Indonesia yang dibawakan tetap tertata dengan baik sesuai dengan gaya kontemporer, selalu iring-iringan dengan perkembangan zaman. Itu sudah menunjukkan kalau dia selalu akrab dengan literatur. Tentu tidak dilupakan humor-humornya yang segar saat berceramah. Pada kalender bulanan untuk April 2009 ini sudah penuh jadwal berdakwahnya. Misalnya saja sejak tanggal 16 ke kampung Karang Tengah, Pondok Labu. Lalu ke Kampung Kebon (Kemang). Ke Gang Kancil (Ampera). Dari Jakarta Selatan dia diundang hari berikutnya ke Cilodong, Bogor. Ke Bantar Gebang, Bekasi Timur. Itu berlangsung pagi dan malamnya berceramah lagi di Cipete Selatan. Besoknya lagi di Pondok Cabe. Berikutnya ke Ctayam. Dari wilayah Dejabotabek meloncat memenuhi undangan ke Garut, ke Gunung Kidul, ke Palembang, ke Pontianak dan tempat-tempat lainnya. Kalau dekat-dekat dia menyopiri mobilnya sendiri. Kalau jauh sampai menyeberangi laut dia menggunakan pesawat atas tanggungan pengundangnya.Dia mengagumi Bapak Qurais Sihab, pendakwah senior yang kalau memberikan ceramah, kuliah dan dakwah menunjukkan begitu berilmu tinggi serta santun. Walau sekarang ustad Djuhana sudah lama pensiun sebagai pegawai sipil KKO AL bidang binroh, di luar dari tugas-tugas takziyah, ngelayat sekaligus menyembahyangkan jenazah di mesjid dan lalu mengantar ke makam dengan warga kampung, di saat-saat senggang dia tidak segan-segan kumpul dengan kawan-kawan lama di bangku warung. Di situ dia sempatkan berkelakar sambil ngopi.
Begitulah gaulnya sang ustad yang ramah namun tetap disegani. Bini tetap satu, Hajah Maisuroh yang dikenal juga sebagai ustadzah, anak-anaknya tujuh orang sudah pada menikah semua dan menghasilkan sepuluh cucu mau tambah lagi satu. Di rumah dia rajin menyirami tanaman-tanaman hias yang tersusun rapi di depan rumah. Ada tiga sepedamotor milik anak-anaknya dipajang di dalam ruang tamu. Mobilnya sendiri Kijang terpaksa diparkir jauh di luar gang karena jalanan di dalam kampung hanya semester lebarnya. Bahagiakah ustad yang saya tokohkan ini? Jelas berbahagia sekali dengan yang telah dirintisnya sejak muda.
Jakarta 24 April 2009.