Selasa, 05 Mei 2009

MULYADI W. PELUKIS LEMBUT PENUH KEMESRAAN

/ Rahmat Ali

Mulyadi W (begitu namanya selalu tercantum di lukisan atau di ilustrasi ciptaannya di beberapa majalah anak-anak tahun 19701n) adalah pelukis senior yang telah meniti karirnya sejak dari bawah sekali. Dari tahun 1955 hingga 1960 adalah masastudinya di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Sejak itu sebagai anggota kelompok seniman di "Sanggar Bambu" Yogyakarta telah berkeliling Jawa dan Madura untuk melakukan kegiatan senirupa. Tahun-tahun berikut seperti umumnya pelukis dia berpameran tunggal atau bersama para pelukis lainnya, mulai dari tahun 1967, 70, 72, 76, 79 dan seterusnya hampir tiap tahun hingga baru-baru ini bulan Maret 2009. Berpamerannya bukan hanya di kota-kota besar Indonesia, juga negara-negara Asean termasuk Bangladesh, Korea serta di Tokyo, Jepang.
Pria kelahiran Pasuruan 22 Agustus 1938 ini telah menunjukkan bahwa prestasi yang sekarang adalah hasil proses panjang, bukan seperti masak mi instant yang sekali dicemplungkan ke air mendidih lalu matang siap untuk dinikmati. Ciri yang menonjol pada karya-karyanya sudah banyak dikenal pemerhati-pemerhati seni, selalu lembut penuh kemesraan. Jika perlu ornamen-ornamen di sekitar obyek pokok lukisan selalu digarap dengan detil dan halus. Tersirat keteduhan dan penuh kecintaan. Rumahnya yang cukup luas dan teduh di kampung Ragunan memberikan suasana rukun damai. Ada rumah induk, pavilyun serta studio untuk melukis. Akibat keserasian taman di sekitar rumah maka tidak heran terlihat pada lukisan-lukisannya yang alami. Contoh nyata pada "Anak-anak bermain" yang dilukisnya pada tahun 1995. Di samping karya tersebut terpampang pula sosok pelukisnya sendiri.
Penghayatan dan penjiwaan sang pelukis terhadap anak-anak dan bundanya tercermin pada lukisan "Melihat adik disusui" (2004). Pada lukisan yang temanya agak mirip, ibu muda dari Dayak, Kalimantan, dia beri judul "Menggendong anak".
Wajah-wajah pelaku yang dilukis Mulyadi W merefleksikan jiwa penuh kasihsayang yang tulus. Menyusui dan menggendong anak tidak lain "terjemahan" mencintai, menyayangi sekaligus memberikan kelembutan yang murni. Dia pandai mendefisikan apa itu cinta. Pada lukisannya "Malam Pengantin" (2005) para pembaca bisa berfantasi yang indah tentang bagaimana sepasang pengantin baru di malam pertama mereka. Dandanan rambut dan wajah pengantin wanita sama sekali belum terhapus benar sedangkan si prianya sudah demikian bernafsu di selembar kain batik untuk berduaan. Kembali lagi di sini sang pelukis tidak bisa meninggalkan cap kelembutan, kemesraan dan ekspresi cintanya yang khas.
Terhadap akibat tragis dari kerusuhan yang pernah melanda ibukota, sang pelukis trenyuh juga menyaksikan seorang seorang pria yang tewas dan rumahnya hancur terbakar. Mulyadi W melukiskan seorang istri dengan anaknya didera hujan angin dengan latarbelakang kepulan asap di kejauhan. Mana suaminya? Telah benar-benar tewaskah dia dan tidak pulang untuk selama-lamanya? Kenyataannya begitu. Karya tersebut berjudul: "Percuma motretin kite, Oom" (2006).

Tahap-tahap di dalam melukis yang dilakukan oleh Mulyadi W selalu ajeg begitu dari dulu-dulunya. Dimulai dari ide yang dituangkan ke sketsa. Dari situ lalu “dipindahkan” ke kanvas dengan menggunakan cat minyak. Bagaimana juga Mulyadi W tidak bisa lepas dari ciri-ciri gaya melukisnya yang lembut penuh kemesraan. Sekali lagi terutama pada wanita dan anaknya. Lukisannya yang berjudul "Kudamba kamu kelak jadilah Superman, he-he-he" yang baru-baru ini dipamerkan pada pertengahan Maret 2009 di Rumahsakit Ibu dan Anak, Jl. Ampera, Jakarta Selatan, membuktikan hal tersebut.
Berapa jumlah lukisan yang telah dicipta sang pelukis? Juga sketsa-sketsa serta ilustrasinya di majalah-majalah masalalu? Ada ratusan, bahkan seribu lebih. Juga beberapa patung. Seperti seniman umumnya karya-karya tersebut sudah banyak dibeli peminat. Yang tinggal di sanggar tersisa beberapa biji saja. Untungnya sebagian besar sudah dipotreti dan ditempelkan di album. Lainnya lagi di"scanned" dan disimpan di PC dan CD. Itulah dokumentasi pribadinya. Mulyadi W menikah pada tahun 1971 di Yogyakarta dengan Sudarusmi (panggilannya Bu Rus). Dikurniai tiga putrid dan 1 putra bungsu. Yang pertama dan kedua sudah menikah. Dari yang sudah berumahtangga ini menurunkan tiga orang cucu.

Kamis, 23 April 2009

Ustad Djuhana, da'i di kampungku

/ rahmat ali

SATU

Dia ustad awet muda. Padahal usianya sudah mencapai 64 tahun. Punya perawakan atletis tegap, kulit sawomatang, rambut belum ubanan, gaulnya sumeh. Sukanya naik skuter, berpakaian lengkap sebagaimana umumnya da'i. Jika khotbahjum'at, gaya mengucapkan lafal-lafalnya, apakah itu hadis atau ayat-ayat surat al-Qur'an, fasih dan jelas, menunjukkan pengetahuan sorof/nahwunya di dalam lugotul-arobiyyah menguasai sekali. Itulah sosok Djuhana, ustad di Ragunan yang telah meniti karirnya benar-benar dari bawah.

Belajar ngajinya di rumah guru kampung sendiri, Haji Ihun, Rt 05 yang kini ada peninggalannya, Mesjid Solihun. Dilanjutkan guru lain di Rw kampung sebelah lagi, Haji Mohammad Gombak. Dari Ragunan juga, guru berikutnya Haji Mualim Ma’ruf. Guru yang dari Jatipadang adalah Kyai Haji Ahmad Ali, sesepuh setempat. Yang terakhir sampai hafal al-Qur'an dari ustad Raden Mohammad Amin di pesantren Kalibata, kini telah lama almarhum dan lokasi kediamannya ditengarai dengan bercokolnya mesjid Mohammad Amin. Di pesanten ini Djuhana menempuh pelajarannya enam tahun.

Setelah setahun menikah, ustad Djuhana bekerja sebagai pegawai sipil di batalyon KKO yang tangsinya di kesatrian Kwini.

Tiga tahun kemudian pindah di kesatrian KKO Cilandak. Tugasnya di bagian Binroh antara lain membimbing warga prajurit yang mau menikah dengan mengajari membaca syahadat dan sekaligus solat serta pengetahuan keIslaman lainnya. Karena waktu itu tidak sedikit yang mengaku beragama Islam namun belum pernah mempraktekkan apa itu selayaknya seorang muslim dan apa yang wajib dilakukan sehari-hari sebagai seseorang yang berpredikat muslim maka Djuhana membina mereka. Kalau sudah dinyatakan lulus bimbingan, memenuhi syaratlah si prajurit sebagai calon suami dan komandan pun segera menandatangani untuk boleh menikah secara Islam.

Tambahan ilmu keagamaan yang sangat mengesankan bagi ustad Djuhana dimulai saat datangnya Engkong Syah Iran di Ragunan, begitu lanjutan ceritanya. Dia seorang laki-laki yang sudah "mengabdi" sebagai insinyur sipil yang mengarsiteki bangunan-bangunan di Kwini, meliputi bangunan Rumahsakit Gatot Subroto dan rumah-rumah sekitarnya termasuk menginstalasi pipa air untuk kesatrian KKO (sekarang Marinir) di Kwini.

Kalau mengontrol proyeknya Engkong Syah Iran masih tetap mengendarai sepedamotor BSA-nya zaman itu. Tentunya dia seorang insinyur yang berpengaruh dan cukup potensial. Dia pernah mengembara ke tujuh gunung di Aceh untuk memperdalam pengetahuannya di bidang agama. Dedikasi berikutnya setelah puas sebagai arsitek dan pemborong bangunan, Engkong Syah Iran dan istrinya yang sudah sama-sama tua turba, "melebur" bersama warga kampung di Ragunan yang waktu itu masih rimbun, belum banyak rumah, di sana-sini pohon-pohon buah serta empang-empang tempat memelihara ikan. Di salah satu pondok bambu yang kosong milik Haji Nean itulah Engkong Syah Iran tinggal bersama bininya. Dia saat melihat Djuhana muda yang tahun-tahun awal enampuluhan itu belum jadi ustad seketika menaruh perhatian. Dia lalu membacakan beberapa ayat surat al-Qur'an dan minta tolong kepada Djuhana untuk membuat terjemahannya dan ternyata dilaksanakan cepat. Engkong Syah Iran setelah membacanya mengatakan betul. Dia minta ayat berikutnya diterjemahkan dan bilang lagi kepada penterjemahnya: Betul!

Yang menterjemah heran. Pikir Djuhana waktu itu, orang ini bukan bertanya padaku. Pasti dia menguji nih. Sejak itu akrablah Engkong Syah Iran dengan Djuhana. Sebenarnya waktu itu ada pula santri-santri lainnya di kampung, malah ada yang mengaku ustad sejak lama, namun Engkong Syah Iran merasa lebih "sreg" kepada Djuhana pilihannya. Dia sejak itu secara tidak langsung dibimbing sedikit demi sedikit oleh mantan arsitek tersebut.

Ternyata Syah Engkong Iran itu, usianya sekitar 80 tahunan, mungkin berkat pengembaraan dan pengalamannya yang luas, pandai sekali di dalam mengajarkan bagaimana hidup sebagai hamba Allah dengan berpedoman kepada ayat-ayat suci al-Qur’an dan hadis. Dia tidak canggung-canggung memberi pertolongan kepada orang-orang yang kesulitan atau menderita. Advis-advisnya “mengena”. Kepada Djuhana orang itu menjelaskan bahwa ayat-ayat suci al-Qur’an tersebut sangat bermakna dalam. Kalau sudah mafhum benar sangatlah mujarab dipergunakan untuk hampir apa saja. Orang bisa sakit, bisa celaka, bisa bangkrut, bisa juga sembuh dan lain-lainnya. Engkong Syah Iran jelas menjalankan amalnya yang sangat positip untuk masyarakat. Karenanya, walau tinggal di pondok amat sederhana (seperti menjauhi kemewahan dunia), toh tiap harinya banyak saja tamu yang minta advis dan pertolongan. Anehnya tidak mau terima apa-apa sebelum nyata-nyata berhasil dalam ikhtiar. Kalau akhirnya benar-benar berhasil, barulah mau menerima. Suka hati yang beri. Yang wujud uang, barang atau makanan. Segala yang Engkong Syah Iran telah terima diberikan lagi ke mereka yang butuh. Habislah stok, namun besoknya datang lagi pemberian. Cepat lagi dibagikan.

Tiap pagi Engkong Syah Iran sering tampak berjalan berduaan istrinya ke rumah Haji Nean yang menyewakan pondok dekat empang. Pasangan insan tersebut berpakaian bersih walau sederhana. Sungguh tidak kentara kalau dulunya seorang warga kota Purworejo, Bagelen yang insinyur sipil, arsitek dan pemborong bangunan. Dia tenang saja di dalam kampung yang kalau hujan lebat jadi banjir, penuh luapan air di sekitar pondok, licin banyak Lumpur. Waktu itu listrik belum masuk kampung. Setelah istrinya meninggal dia menikah lagi dengan seorang perempuan lebih muda sebagai pendamping sebab tiap hari selalu sibuk melayani tamu-tamu yang datang dari mana-mana. Tidak lama kemudian dia meninggal dan dimakamkan tidak jauh dari pondokannya. Jalanan kecil yang menuju ke bekas tempat huniannya bernama “Gang Syah Iran” sampai sekarang.

DUA

Kembali ke kilasbalik saat Engkong Syah Iran masih hidup. Dari fakta-fakta waktu itulah Djuhana yang tinggal tidak jauh dari pondoknya, secara tidak langsung makin "dalam" dibimbing. Engkong Syah Iran memang mengarahkan Djuhana untuk sedikit demi sedikit meningkat. Entah lantaran apa pada suatu malam tiba-tiba saja Djuhana dan istrinya mencium bau yang sangat lengur busuk tidak karu-karuan memuakkan serta bikin muntah. Dia tidak tahan untuk tetap tidur. Keesokan harinya dia bertanya ke Engkong Syah Iran apakah itu. Bertahan sajalah, jawabnya. Djuhana sesuai nasehatnya tetap bertahan. Itu salah satu godaan kalian, kata Engkong Syah Iran menjelaskan. Malam berikutnya yang dialami Djuhana dan istrinya kebalikan dari yang awal, dari yang semula bau amat busuk menjadi wujud aroma wangi. Karena Engkong Syah Iran berpesan untuk tidak bereaksi apa pun maka Djuhana pun tidak berbuat apa-apa.

TIGA

Sebenarnya Djuhana bukan semata menerima filosofi hidup dari Entong Syah Iran saja. Dia juga autodidak. Djuhana anak tukang sayur yang sederhana, Pak Ikin. Almarhum bapaknya tiap hari memikul sayuran untuk dijual keliling kampung. Namun Djuhana tekun belajar. Waktu belajar mengaji dia serius sekali. Guru-gurunya mengaji banyak memuji. Dia ini mempunyai otak yang tajam dalam mengingat-ingat. Sekali ayat suci atau hadis dibacakan guru, seketika dia ingat. Juga pelajaran lain. Demikianlah salah satu keistimewaan yang ada pada dirinya. Setelah berhaji ke Mekkah beberapa tahun yang lalu lengkaplah predikat Djuhana, ustad dan haji sekaligus.

Saat-saat menunaikan ibadah haji dia sangat terkesan, terlebih saat di padang Arafah yang merupakan pertemuan seumur hidup bersama umat dari seluruh dunia dengan berikhrom. Peristiwa tersebut merupakan fitroh kesamaan mahluk manusia sebagai hamba Allah. Orang-orang yang bertaqwa itulah yang dimuliakan Allah (Inna akromakum indallahi adkokum). Di situ pula terwujud ciptaan Allah yang terdiri dari kaum lelaki dan kaum perempuan berbagai suku dan bangsa bersujud ke hadapan Sang Maha Pencipta. Sudah kehendak Allah Djuhana setelah menjadi haji makin dikenal luas melebihi batas kampung Ragunan. Kolega-koleganya yang lebih senior atau sederajat yang dia miliki sekarang makin bertambah pula. Antara lain dari mereka itu adalah KH Rhoma Irama, KH DR Zainuddin MZ, KH DR Manarul Hidayah, KH Mursidi, KH Abubakar Madris dan lain-lain. Pada foto yang terpampang di tulisan ini adalah saat dia bersama KH Rhoma Irama, yang selain pandai berdakwah juga sangat tersohor sebagai rajadangdut Indonesia.

Saat jadi pengkhotbah solat Jum'at, Idul Fitri, Idul Adha atau ceramah di tempat lain sesuai undangan, dia, ustad Djuhana bukan saja tangkas fasih tanpa teks, pun bahasa Indonesia yang dibawakan tetap tertata dengan baik sesuai dengan gaya kontemporer, selalu iring-iringan dengan perkembangan zaman. Itu sudah menunjukkan kalau dia selalu akrab dengan literatur. Tentu tidak dilupakan humor-humornya yang segar saat berceramah. Pada kalender bulanan untuk April 2009 ini sudah penuh jadwal berdakwahnya. Misalnya saja sejak tanggal 16 ke kampung Karang Tengah, Pondok Labu. Lalu ke Kampung Kebon (Kemang). Ke Gang Kancil (Ampera). Dari Jakarta Selatan dia diundang hari berikutnya ke Cilodong, Bogor. Ke Bantar Gebang, Bekasi Timur. Itu berlangsung pagi dan malamnya berceramah lagi di Cipete Selatan. Besoknya lagi di Pondok Cabe. Berikutnya ke Ctayam. Dari wilayah Dejabotabek meloncat memenuhi undangan ke Garut, ke Gunung Kidul, ke Palembang, ke Pontianak dan tempat-tempat lainnya. Kalau dekat-dekat dia menyopiri mobilnya sendiri. Kalau jauh sampai menyeberangi laut dia menggunakan pesawat atas tanggungan pengundangnya.Dia mengagumi Bapak Qurais Sihab, pendakwah senior yang kalau memberikan ceramah, kuliah dan dakwah menunjukkan begitu berilmu tinggi serta santun. Walau sekarang ustad Djuhana sudah lama pensiun sebagai pegawai sipil KKO AL bidang binroh, di luar dari tugas-tugas takziyah, ngelayat sekaligus menyembahyangkan jenazah di mesjid dan lalu mengantar ke makam dengan warga kampung, di saat-saat senggang dia tidak segan-segan kumpul dengan kawan-kawan lama di bangku warung. Di situ dia sempatkan berkelakar sambil ngopi.

Begitulah gaulnya sang ustad yang ramah namun tetap disegani. Bini tetap satu, Hajah Maisuroh yang dikenal juga sebagai ustadzah, anak-anaknya tujuh orang sudah pada menikah semua dan menghasilkan sepuluh cucu mau tambah lagi satu. Di rumah dia rajin menyirami tanaman-tanaman hias yang tersusun rapi di depan rumah. Ada tiga sepedamotor milik anak-anaknya dipajang di dalam ruang tamu. Mobilnya sendiri Kijang terpaksa diparkir jauh di luar gang karena jalanan di dalam kampung hanya semester lebarnya. Bahagiakah ustad yang saya tokohkan ini? Jelas berbahagia sekali dengan yang telah dirintisnya sejak muda.

Jakarta 24 April 2009.

Senin, 23 Maret 2009


PROF. SAPARDI DJOKO DAMONO,
GURU BESAR YANG JUGA PENYAIR


Anak-anak balita itu sudah memiliki kemampuan mengekspresikan kesenian, apakah di saat bermain-main sambil menari ala kadarnya, nyanyi dengan menjerit-jerit, melukis bercorat-coret atau menulis sesederhana mungkin. Biarkanlah mereka bebas. Tidak usah diberi atau dijejali bermacam-macam teori. Dengan bertambahnya ilmu yang didapat sesuai tingkat pendidikan di sekolah makin banyak isi di dalam diri. "Muatan" kesenian yang semula dominant, "tertindih" atau "terdesak" pasokan-pasokan baru. Daya berkeseniannya berkurang, bisa-bisa hilang, tidak segencar waktu sebelumnya. Beda kalau sejak kecil dibina terus berkesenian. Mereka seperti terasah dan
menjadi sukses sampai akhir hayatnya. Begitu ungkapan Prof. DR Sapardi Djoko Damono, Guru Besar UI bidang ilmu budaya/sastra yang juga penyair besar di tanahair kita ini, ketika saya kunjungi di pagi-pagi yang cerah hari Minggu tanggal 22 Maret 2009 di rumahnya di Ciputat. Kediamannya di komplek perumahan dosen tersebut tidak lebih dari 15 meter jaraknya dengan danau yang melingkar di belakang.
"Bagaimana rasanya tinggal di sekitar sini," tanya saya, "apakah sering menimbulkan fantasi-fantasi misalnya seperti ada monster yang muncul dari dalam danau atau aneka lainnya sehingga menjadi inspirasi karya syair atau tulisan?"
"Tidak juga," jawabnya sambil senyum. "Saya sudah puluhan tahun tinggal di sini. Jadi biasa-biasa saja."
Prof. Sapardi yang lahir di Surakarta 20 Maret 1940 itu seperti ingin menyendiri di komplek itu. Dia tidak mau pasang televisi, tidak berlangganan koran, tidak pula mau bermobil. Kendaraan itu telah dijualnya. Dengan begitu dia bebas pergi-pergi. Tidak tergantung sopir. Tidak terikat berita koran dan siaran media elektronik. Sering dia jengkel jika menonton tv atau baca koran. Cukup menghidupkan komputer saja. Dari internet bisa mendapatkan banyak informasi, koran, majalah, termasuk buku-buku baru dari seluruh dunia. Tinggal mengunduh, kalau sempat dibaca sekilas lalu dimasukkan ke file pribadi.
"Bagaimana tanggapan Pak Sapardi terhadap keadaan sekarang menghadapi pemilu? Bisa dimanfaatkan untuk bahan syair atau lainnya?"
"Sekarang benar-benar fenomena yang awut-awutan dan aneh," jawabnya. "Orang-orang yang belum pernah muncul menampang dalam bentuk gambar-gambar besar. Ditempelkan di pojok-pojok jalanan dan pada salah satu lokasi lalu diberi kumis tambahan oleh orang-orang usil."
"Ya, begitulah," saya menukas. "Pernah baliho besar yang dipasang di menara tinggi tiba-tiba roboh menimpa orang. Kan mencelakakan?"
Pak Sapardi menambahkan pula dengan cerita lain. Tentang pengusaha percetakan. Dalam rangka kampanye yang sifatnya perorangan itu, si tukang cetak dengan tiba-tiba saja mendapat order bikin gambar, slogan dan cetakan-cetakan lainnya yang serba banyak. Walau beaya begitu besar, sampai juta-jutaan, pemesannya tenang-tenang saja mengeluarkan duit. Sangat fantastis namun lumayanlah buat tukang-tukang cetak, tukang sablon dan pembikin-pembikin poster.
"Dari partaikah dana bikin publikasi demikian?"
"Bukan. Ya dari individu-individu itu sendiri yang berstatus caleg. Pengeluaran yang sungguh-sungguh amat besar. Padahal belum tentu nanti terpilih. Orang-orang yang memilih pun pada umumnya juga belum kenal."
"Tergerakkah Pak Sapardi barangkali untuk menuliskan fenomena sekarang ke dalam syair atau lainnya?"
Sekarang belum. Dulu saat ada peristiwa besar tahun 1998 yang amat mengguncang itu menggugah saya untuk merekamnya dalam karya. Begitu juga dengan peristiwa lainnya yang tak bisa dilupakan begitu saja."
"Pak Sapardi, kita sama-sama sudah tua. Saya punya beberapa kawan sebaya yang sudah lebih dulu meninggal. Saya merasa kehilangan. Tinggal sedikit kawan tua saya. Yang sekarang saya miliki banyak yang muda-muda. Di akhir solat, selain leluhur saya yang saya doakan, tidak lupa kawan-kawan yang almarhum itu saya doakan juga. Bagaimana dengan Pak Sapardi sendiri?"
"Terhadap almarhum kawan-kawan saya itu saya anggap masih hidup saja. Saya merasakan keberadaan mereka itu di sekitar saya. Bagaimana juga setelah mereka tidak ada kemudian saya mencoba bergaul dengan yang jauh lebih muda, betapa tidak seimbangnya berkomunikasi. Tidak ada sama sekali kesamaan rasa dan selera."
"Tidak 'tune' ya?"
"Begitulah."
"Saya masih ingat peristiwa-peristiwa di masakanak. Saya ingat wajah kawan-kawan, lalu tingkah dan ketawa-ketawa mereka. Bagaimana pada Pak Sapardi?"
"Sama juga. Saya tidak melupakan mereka waktu masih kecil. Semua meluncur kembali di depan mata saya. Seperti filem yang diputar. Nyata sekali terbayang. Kampung saya di Solo, orang-orangnya, dusun-dusunnya. Mungkin begitulah kekuatan memori yang dimiliki penulis pada umumnya. Jika ditulis akan lancar sekali. Tinggal menggerakkan tangan saja sampai selesai."
"Bagaimana pendapat Pak Sapardi dengan puisi yang dibuat seperti prosa sekarang ini?"
"Itu sah-sah saja," jawabnya. "Sebenarnya siapa yang dulu menamakan puisi atau prosa, bukankah itu istilah dari Barat sana? Kita punya sekar atau tembang yang dinyanyikan. Adanya cerita pendek atau novel, semua itu peristilahan Barat. Makanya kita bebas saja mencipta.”
“Baca terus karya orang itu kadang-kadang menjengkelkan juga. Lalu kapan saya menulis sendiri? Makanya saya tinggalkan membaca dan bikin sendiri. Berarti menjadi ciptaan sendiri. Hanya kalau suatu saat saja perlu tambahan isi maka saya membaca lagi karya orang secara sekilas sebagai referensi. Bagaimana pada Pak Sapardi?”
“Ya sama juga,” jawabnya.
apa! Ya saya lihat daftar isinya. Kalau ada yang masalah baru yang menarik saya baca sekilas. Dari internet saya baca juga sekilas. Untuk koleksi lalu saya unduh dan saya masukkan ke file. Jika baca sekian tebalnya, edan apa?”
Saya ceritakan pengalaman saya menghadiri ceramah dari pakar Belanda di Erasmus tentang “Art under pressure”. Tidak lain soal tentang nasib karya-karya seni masakini di dunia. Di Indonesia menimbulkan pembajakan-pembajakan dari penerbit liar. Yang untung penerbit juga, pengarang aslinya menelan ludah. Bagaimana ini?
Prof. Sapardi lalu melontarkan rasa gundahnya. Pengarang hanya menerima royalty 10% saja. Dia baru-baru ini mendapat pemberitahuan bahwa bukunya akan dicetak kembali oleh salah satu penerbit yang terkenal di negeri ini. Mengagetkan. Sepuluh tahun lebih dia tidak mendapat kabar apa-apa. Kok tahu-tahu mau dicetak lagi? Lalu yang dulu dikemanakan hasilnya? Tidak ada royalty sama sekali kok sekarang diberitahu akan cetak ulang? Maka dia lalu menolak dan hak cipta karyanya diambil kembali oleh Prof. Sapardi.
Sekarang ini pengarang-pengarang muda banyak. Adanya ciklit dan lain-lainnya yang ditulis anak-anak muda. Bagus juga itu. Tidak usah diolok-olok. Beri kesempatan mereka berkembang. Patokannya sebagai penulis harus baca. Banyak-banyaklah baca karena tanpa itu mana bisa memperoleh bekal menulis. Beberapa penulis barangkali usianya sudah lanjut lantas berhenti berkarya.
Atau dia masih terus berkarya namun dengan langgam yang itu-itu saja. Berarti sudah habislah di situ. Saya pernah sarankan agar membaca karya orang lain yang lebih bagus. Namun tetap pada gayanya yang tidak konsisten. Pada hakekatnya penulis itu pencipta bahasa. Dialah yang berkuasa di dalam menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran-pikiran. Asal harus konsisten dengan bahasa yang baik."
"Bolehkah pengarang menggunakan bahasa sehari-hari, biasanya ditekankan pada dialog dan pada narasi dengan bahasa yang standar, yang 'baik' atau yang benar?"
"Boleh-boleh saja kok. Bahasa harus yang terasah sesuai peningkatan pengalaman dan intelektualitasnya. Sebenarnya apakah pada narasi atau dialog, sah-sah saja menggunakan bahasa. Seperti almarhum Firman Muntaco dulu, baik dalam narasi atau dialog konsisten dengan bahasa sehari-hari yang kocak dan lucu. Itu kehebatan Firman Muntaco.”
"Bagaimana para penyair muda, ada yang menonjol?"
“Ada juga, bahkan menunjukkan harapan besar karena keseriusan mereka. Penulis sepuh yang tetap gigih misalnya Pak Soeparto Brata dari Surabaya. Beliau boleh dicontoh, padahal kawan-kawan seangkatannya sudah pada 'selesai' berkarya."
"Lalu kritikus, punya catatan khusus?"
"Berbicara masalah kritikus sastra sekarang, payah. Koran-koran membatasi tulisan. Jika panjang sedikit pasti tidak bisa dimuat. Bikin kritik mini sesuai daya tampung kolom koran yang makin sempit? Repotlah sekarang untuk bidang kritik sastra."
Pada dinding ruang tamu rumah tertancap lukisan karya Sri Warso Wahono yang sesama wong Solo dan satu ikon bertempel potretnya pada dinding ruangmakan, dibuat oleh almarhum Motinggo Boesje. Setelah melihat gambar yang tertera pada lontar yang dulunya dibeli di Blitar, Prof. Sapardi menjelaskan bahwa gambar di lontar tersebut unik. Tampak pembesar-pembesar zaman itu, sedadu-serdadu Kompeni, ditambah lagi gambar tokoh-tokoh legenda yang menjadikan rangkaian ceritanya absurd. Jadi sejak dahulu seniman-senimannya sudah tidak asing dengan gaya absurd.
Sajak-sajaknya yang terkenal membersit di kepala saya dan berturut-turut saya ingat “Aku Ingin”, “Hujan Bulan Juni” (tertempel khusus di dalam kaca dan menggantung di dinding, “Pada suatu hari nanti”, “Akulah si Telaga” (apakah telaga yang di belakang rumahnya itu?-- pikir saya), “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”, “Duka-Mu Abadi”, “Mata Pisau”, “Perahu Kertas”, “Sihir Hujan”, “Arloji”, “Ayat-ayat Api”, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?” dan lain-lainnya yang seabreg sampai tersiar juga di YouTube.
Saya pamit pulang setelah banyak dan puas mendengar uraian Prof. Sapardi tentang penciptaan sastra dan dirinya sehari-hari yang terus sibuk. Sebagai Guru Besar dia mengabdi terus dan tidak pensiun-pensiun menjadi “lelaki panggilan” ke unversitas-universitas yang memohon kuliah-kuliahnya. Sampai di rumah saya membuka koran mingguan dan pada lembar budaya saya jumpai sajak-sajak terbaru karya beliau. Wah, wah, hebat sekali pengamatannya terhadap pemulung pencari gelas-gelas plastik dan kaleng-kaleng bekas di tempat sampah.

Jakarta 22 Maret 2009
RAHMAT ALI

Jumat, 20 Maret 2009

Meningkatkan kreativitas tahun 2009

Tak disangka tahun 2009 ini alhamdulillah aku seperti dilecut untuk membuat kumcer hasil penulisan beberapa cerpenku dari tahun-tahun 2006. Maka jadilah konsep kumcer yang tidak lain kumpulan cerpen-cerpenku. Beruntunglah aku mempunyai kawan-kawan yang pandai menggambar. Berturut-turut mereka itu adalah: Sri Warso Wahono (mantan pegawai Museum Fatahillah yang lulusan ASRI hingga menjelang pensiun dia menjadi kritikus senirupa plus anggota Dewan Kesenian Jakarta dan sekarang giat di TIM). Berikunya Mas Sri Widarto, ahli perminyakan di Pertamina yang juga pelukis. Yang ketiga adalah Mas Yonathan Rahardjo, seorang dokter hewan merangkap penyair/novelis dan redaktur majalah perunggasan. Berkat mereka beberapa dari 23 cerpenku terilustrasi. Judul kumcerku: "Dinasaurus habis sakit gawat". Aku dilahirkan di kota Malang beberapa puluh yang lalu. Oleh krena itu kotakelahiranku tersebut kukenal betul luar dalam. Banyak kawan-kawanku di masakanak dan masaremaja. Berkat pengalaman-pengalaman yang tak terlupakan tersebut maka kubuatlah novel baru dalam bahasa Jawa dialek atau boso "Malangan". Kuberi judul "Mis, koncoku sinorowedi". Nantilah kutunjukkan kalau bulan April 2009 ini muncul di ibukota. O senangku bukan main. Sekian dariku. Jakarta 21 Maret 2009, Rahmat Ali.

NONTON JAZZ

Javajazz 2009 di Senayan baru-baru ini sungguh di luar dugaanku. Ada jazz campuran antara alat-alat musik trompet, dram elektris, gong, seruling dan diperindah alunan suara dua pesinden yang bergantian melengking begitu merdu. Yang di panggung lain jazz "asli" barat berorkestra lengkap. Penyanyinya soprano kulithitam yang lantang diantar oleh empat cewek kulithitam juga. Lagu-lagu terkenal dibawakan. Para penonton yang berdiri di depan panggung ikut meliuk-liukkan badan sebagai tanda ikut merasakan enaknya ayunan musik jazz. Yang paling kusuka adalah di panggung lain di mana Isao Susuki sebagai musikus bas besar, kawan-kawannya yang lebih muda memainkan piano, trompet, sazopon serta dram. Keunikan Isao Susuki adalah usianya, 76 tahun, berbusana seperti resi, berjubah hitam dengan hem hijau di dalamnya, bercincin berlian segiempat yang berkilau-kilau, Isao seperti guru bagi kawan-kawannya yang lebih muda. Jari-jari tangan Isao walau sudah sepuh namun masih perkasa membetot dawai-dawai bas yang ukurannya jauh lebih besar dari dirinya. O, aku segera menyalaminya setelah selesai berpentas. Aku senang dia begitu ramah dan menuliskan namanya di lembaran kertas yang kusodorkan. Jkt, maret 2009 (Rahmat Ali).